Pelestarian Padukan Tradisi dan Pembaruan
SOLO, KOMPAS – Pelestarian wayang beber perlu memadukan
upaya mempertahankan tradisi sekaligus mendorong pembaruan. Masyarakat
mengetahui bentuk asli wayang beber dan mengikuti perjalanan wayang beber
sesuai perkembangan zaman.
“Upaya mendokumentasikan kembali gambar wayang beber
tradisi, lalu mereproduksi sama penting dengan pembaruan atau modifikasi wayang
beber,” kata pemerhati cerita panji Taufiq Rahzen pada diskusi “Wayang Beber,
antara Inspirasi dan Transformasi” yang diadakan Balai Soedjatmoko, Selasa
(26/3).
Narasumber lain adalah dosen Desain Komunikasi Visual
Institut Seni Indonesia Yoyakarta Indiria Maharsi, dosen Seni Rupa Universitas
Sebelas Maret Suatmadji, dan moderator Yunanto Sutyastomo. Diskusi melengkapi
Pameran Seni Rupa yang ditandai pertunjukan wayang beber tradisi dari Pacitan
dengan dalang Ki Supani dan wayang beber kontemporer dengan dalang Tri Ganjar
Wicaksono.
Suatmadji mengatakan, pertunjukan wayang beber tradisi saaat
ini hanya ditemukan di Wonosari, Gunung Kidul, Yogyakarta, dan di Donorojo,
Pacitan, Jawa Timur. Sebagian besar menyajikan cerita panji tentang
cerita-cerita rakyat. Berbeda dengan Mahabharata dan Ramayana dari India,
cerita panji dinilai cerita asli Indonesia, yang dibuktikan dari lokasi cerita
yang menyebut Kerajaan Kediri dan Daha.
“Wayang beber Pacitan memperlihatkan pengaruh Hindu,
sedangkan wayang beber Wonosari lebih kentara pengaruh Islamnya. Terlihat dari
visualnya,” kata Suatmadji, peneliti Studi Wayang Beber Pacitan 1978.
Menurut Indiria Maharsi, mengutip disertasi Marcel Bonef
dari Perancis yang meneliti wayang beber Jawa, wayang beber cikal bakal komik.
Indiria menemukan komponen-komponen penyusun wayang beber sama dengan komik,
seperti panel, batas, dan cerita berururtan.
“Lewat transformasi ke lukisan atau komik, kita bisa membuat
wayang beber lebih dikenal masyarakat,” kata Indiria.
Sumber: Harian Kompas, Kamis, 28 Maret 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar