Sabtu, 04 Juni 2016

HISTORIKAL CIREBON

Cirebon dikenal sebagai sebuah kota yang memproduksi beras dan gula, maka dari itu Cirebon menjadi sebuah wilayah yang kemudian terintegrasi dengan jalur pelayaran dan perdagangan di Nusantara, sejak sebelum dan sesudah penguasaan kolonial Belanda. Faktor luar (eksternal) berupa terintegrasinya Cirebon kedalam mata rantai perdagangan internasional memberikan implikasi berupa perubahan dan penyesuaian struktur dalam (internal) masyarakat Cirebon.

Pencatatan tentang kependudukan di Cirebon pada awal abad ke-19 dapat diketahui setelah Daendels membuat keputusan tentang reorganisasi daerah Cirebon pada 1809 yang selanjutnya membagi Cirebon menjadi tiga wilayah. Masing-masing wilayah tersebut dipimpin oleh para sultan. Pembagian wilayah dan jumlah penduduk serta penguasa masing-masing wilayah di Cirebon pada 1809.

Setelah kekuasaan Daendels atas Jawa berakhir maka kekuasaan tersebut pun beralih ke tangan Raffles. Raffles membuat pendataan terhadap jumlah penduduk di Jawa untuk kepentingan pelaksanaan Sistem Pajak Tanah. Hasil dari perhitungan tersebut telah diketahui bahwa pada 1812 penduduk di Keresidenan Cirebon berjumlah 160.100 jiwa dan kemudian pada 1815 jumlah penduduk di Cirebon bertambah menjadi 216.001 jiwa, namun perhitungan 1815 tersebut hanya mencakup divisi Cirebon saja[2] . Berdasarkan pendataan tersebut jumlah kependudukan di Cirebon telah menunjukkan peningkatan dalam periode 1812 hingga 1815.

Kekuasaan para penguasa Cirebon berakhir ketika Thomas Stamford Raffles mempensiunkan para penguasa Cirebon itu dengan memberikan uang pensiun. Sejak itu, Kesultanan Cirebon tidak pernah berperan lagi dalam bidang politik dan pemerintahan di Cirebon langsung dilakukan oleh Inggris. Di bawah pemerintahan Inggris, Cirebon dibagi ke dalam 13 divisi, yaitu Bengawan, Cirebon, Ciamis, Cikaso, Linggrajati, Gebang, Lossari, Kuningan, Talaga, Sindangkasih, Rajagaluh, Panjalu, dan distrik hutan (Raffles, 1988: hal. 254-255).

Pada 1920 kepadatan penduduk di Sindanglaut dan Losari (Ciledug) mencapai 615 dan 632 tiap kilometer persegi. Hal ini menjadi menarik karena tekanan atas tanah agraria seakan menjadi pemacu meningkatnya kepadatan penduduk di dua daerah tersebut. Hal ini dapat dilihat pada perkembangan kependudukan di daerah yang sama pada sepuluh tahun berikunya, seperti yang terdapat di daerah Losari jumlah penduduknya meningkat menjadi 754 tiap kilometer persegi. Sementara itu pada 1940 daerah Sindanglaut memiliki jumlah penduduk yang telah meningkat menjadi 730 per km2, sedangkan penduduk Losari meningkat menjadi 910 per km2 (Terra dalam Breman, 1986: 48).

Proses interaksi dan dinamika antara penduduk asli dalam jangka waktu yang panjang dengan pendatang memberikan impilikasi terhadap perubahan dan pengembangan nilai-nilai, system pengetahuan, hingga mode produksi daerah Cirebon. Sejak abad ke-19 hingga abad ke-20 perubahan tersebut tidak hanya terjadi pada level basic struktur dan suprastruktur suatu daerah, dengan munculnya pemukiman baru yang pada sebuah kota dagang maka kota tersebut mulai dihuni oleh orang-orang Eropa, China dan Arab. Perubahan ekologis tersebut juga diikuti dengan perubahan fisik kota dan daerah disekitarnya seperti pembangunan jalan, gedung-gedung perkantoran, rumah-rumah ibadah, sekolah, tokotoko dan sebagainya (Wertheim, 1999: 138-143; Kuntowijoyo, 2003: 65-66).

Ketika kekuasaan atas Jawa kembali ke tangan Belanda, maka pendataan mengenai kependudukan pun masih terus dilakukan. Seperti yang telah tercatat pada sumber-sumber pemerintah kolonial pada 1820 hingga 1864 jumlah penduduk di Keresidenan Cirebon mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Pertambahan jumlah penduduk di Keresidenan Cirebon pada kurun waktu tersebut disebabkan oleh pemberlakuan Sistem Tanam Paksa yang memang selalu membutuhkan jumlah pekerja yang sangat banyak untuk perkebunan-perkebunan dan pabrik-pabrik setempat. Data-data mengenai kependudukan tersebut kemungkinan tidak terlalu akurat dengan kondisi yang sebenarnya karena berbagai macam faktor. Namun perkembangan penduduk di Keresidenan Cirebon cenderung mengalami peningkatan dari tahun-tahun berikutnya selama pelaksanaan Sistem Tanam Paksa. Seperti halnya menurut laporan Umbgrove dalam Breman (1986: 47), yang menyatakan bahwa dalam beberapa dasawarsa setelah Sistem Tanam Paksa dilaksanakan di Keresidenan Cirebon, maka daerah itu pun berkembang semakin pesat dan menjadi pemukiman padat penduduk. Hal itu dimungkinkan sebagai akibat dari penanaman tebu yang meluas dan pesat.
Pertumbuhan pada masyarakat Cirebon memasuki akhir abad ke-19 ini akan dilihat sebagai sebuah dampak dari perubahan bentuk mode produksi masyarakat tradisional subsisten menuju bentuk masyarakat industrialis modern.

Menurut buku Ensiklopedia Hindia-Belanda yang diterbitkan pada awal abad ke-20, Cirebon disebutkan memiliki luas 5626 km2 dengan terbagi atas 2 wilayah Afdelling, 6 wilayah distrik dan 21 onderdistrik. Sementara itu mengenai jumlah penduduk pada tahun 1905 kota Cirebon memiliki jumlah penduduk sebesar 71.000 jiwa yang terdiri dari 500 orang Eropa, 3.500 orang Thionghoa, 1.100 orang Arab dan 170 orang Asia Timur, sementara itu sisanya adalah penduduk pribumi. Menurut sumber yang berbeda pada tahun 1930 kota Cirebon memiliki jumlah penduduk sebesar 2.069.569 jiwa yang terdiri dari 3.395 orang Eropa, 32.055 orang Thionghoa, 4.796 orang Arab dan sisanya penduduk pribumi (Wahid, 2009: 26; The Encyclopedia of Nederlandsch Indie : 1937).