Sampai tahun 1995, penari Didik Nini Thowok (49 tahun) telah
memiliki 19 orang guru. Kini, lelaki kelahiran Temanggung, Jawa Tengah ini,
setidaknya telah berguru kepada 23 orang. Ia mencatat pertama kali belajar
menari Jawa, tahun 1966, saat usianya 12 tahun, ia dibimbing oleh Sumiasih. Bahkan,
pada usia 15 tahun, ia diajar menari Bali oleh pemain Ketoprak yang juga tukang
cukur bernama Soegiyanto.
Setelah kuliah di ASTI (Akademi Seni Tari Indonesia),
Yogyakarta, sekarang ISI (Institut Seni Indonesia), Didik yang bernama asli
Didik Hadiprayitno, seperti haus belajar tari kepada para maestro. Kemudian, ia
berguru kepada Ni Ketut Sudjani (Temanggung), I Gusti Gde Raka (Bali), Rasimoen
(Malang), Sawitri (Cirebon), Ni Ketut Reneng (Bali), Kamini (Surakarta), Bagong
Kussudiardjo (Yogyakarta), BRA Yodonegoro (Yogyakarta), Sangeeta (India),
Richard Emmert (Jepang), Sadamu Omura (Jepang), Jetty Roels (Belgia), Gojo
Masanosuke (Jepang), serta beberapa nama maestro lain dari berbagai negara.
Tak heran jika putra pertama dari pasangan
Hadiprayitno-Suminah ini menguasai beragam tari, terutama yang berbasis pada tradisi. Menariknya, sejak ia melejit
lewat tari Nini Thowok, pada 1975, Didik memutuskan untuk terus menarikan
tarian putri dengan warna komedi yang kental. Sejak itu, barangkali, Didik
menjadi satu-satunya penari lelaki yang sangat serius menekuni tari-tarian
putri.
Banyak kesenian rakyat kita menunjukkan tarian perempuan diperankan
laki-laki atau sebaliknya. Sebagai contoh, Sintren, Lais, dan Wari Lais di
Cirebon atau Gandrung di Bali, Bissu di Makassar, Bedhoyo Kakung di (Keraton) Yogyakarta,
dan Ludruk di Jawa Timur. Di Jepang, dikenal dengan nama Kabuki.
Konon, dalam seni tradisi, pemeranan tokoh lelaki oleh
perempuan bertujuan menghindari kekisruhan karena lelaki yang memerankan
Arjuna, misalnya, selalu jadi idola. Hampir semua tokoh-tokoh dalam Topeng
Cirebon adalah lelaki, sedangkan kebanyakan penarinya adalah perempuan. Di
Yogyakarta, baru-baru ini ada rekonstruksi tentang Tari Bedhoyo Semang, tari
sakral yang ditarikan laki-laki. Konon pula, kalau tarian ini ditarikan
perempuan, akan ada hambatan. Namun, sebenarnya hal itu untuk menghindari
kalau-kalau perempuan penari sedang menstruasi, istilahnya kotor, karena tarian
ini merupakan tarian yang sakral. Oleh karena itu, laki-lakilah yang
menarikannya.
Nama Nini Thowok sebenarnya berasal dari dari sebuah
koreografi yang diciptakan Bekti Budi Hastuti, yang tak lain senior Didik di
ASTI Yogyakarta. Dalam komposisi ini, Didik berperan sebagai perempuan dukun
tua bernama Nini Thowok, yang setiap saat ketiban musibah, misalnya kondenya
yang selalu lepas. Itu merupakan bagian dari tarian.
Sejak itulah, Didik sadar bahwa dia lebih cocok menarikan
tarian perempuan dengan corak komedi. Kemudian, Didik menarikan karya ini dari kampus
ke kampus, sampai-sampai, ia dikenal sebagai Didik Nini Thowok.
Tahun 1999, cerita Didik, ia pernah ditanggap oleh sebuah
hotel di Yogyakarta untuk menari. Sejak itulah, pertama kalinya ia pentas bersama
dengan kesenian Nini Thowok yang asli dari Purworejo. “Ini pakai nyurup
segala. Ngeri juga karena harus ada dukunnya untuk memanggil roh agar masuk ke
dalam boneka,” Kata dia. Dalam tarian itu, Didik menembang Jawa untuk
mengundang roh Nini Thowok. Dalam kesempatan ngobrol dengan rombongan
dari Purworejo, Didik diberi tahu bahwa sebenarnya kata yang benar adalah Nini Towong. Nini artinya
perempuan, kata towong berasal dari ngento-ento yang artinya menyerupai,
dan wong itu orang. Jadi, artinya boneka perempuan yang menyerupai
manusia. “Tapi ya, sudah, saya sudah bertahun-tahun pakai Nini Thowok. Nanti, kalau
diganti Thowong, malah kesurupan... ha-ha-ha,” kata Didik.
Kemudian, ia juga melahirkan karya-karya penuh humor,
seperti Tari Dwimuka (1987), Kuda Putih (1987), Dwimuka Jepindo (1999), Topeng
Nopeng (1988), Topeng Walang Kekek (1980), serta ratusan karya lainnya.
Karyanya yang masih sering dibawakan sampai sekarang adalah Tari Dwimuka. Tari
itu masih mengundang decak kagum terhadap gerakan dan polah tingkah para tokoh
yang dimainkan Didik di panggung. Tahun 1980, Didik mendirikan sanggar tari
bernama Natya Lakshita, artinya, tari yang berciri.
Tari telah menjadi pilihan hidup Didik. Hal itu dirasakannya
sejak ia akan mulai kuliah. “Ya, tepatnya saat saya masuk ASTI tahun 1974.
Padahal, kalau cita-cita awalnya, kan jadi pelukis. Saya mau kuliah di ASRI
(Akademi Seni Rupa Indonesia, red), Yogyakarta. Tapi Bapak saya bangkrut. Kan
Bapak kerja sebagai pengumpul kulit. Masuk ASRI itu perlu banyak biaya untuk
membeli peralatan. Karena saya sudah menari sejak kecil dan menjadi guru tari
saat tamat SMA, saya teruskan ke ASTI.”
Saat kuliah di ASTI, Didik tinggal di rumah dosennya, Ngurah
Suparta. Setiap pukul 05.00, ia dibangunkan untuk berlatih menari Bali.
Sepanjang tahun 2004, ia melakukan perjalanan ke beberapa kota
di mancanegara (Tokyo, San Fransisco, Washington, Vancouver, Berlin, Barcelona,
dan beberapa kota di Inggris). Didik juga mengadakan festival di Yogyakarta.
Dalam acara itu, ia mengundang para penari dari Jepang, India, dan Cina.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar