Minggu, 08 Desember 2013

LEBIH JAUH DENGAN DIDIK NINI THOWOK

     Sampai tahun 1995, penari Didik Nini Thowok (49 tahun) telah memiliki 19 orang guru. Kini, lelaki kelahiran Temanggung, Jawa Tengah ini, setidaknya telah berguru kepada 23 orang. Ia mencatat pertama kali belajar menari Jawa, tahun 1966, saat usianya 12 tahun, ia dibimbing oleh Sumiasih. Bahkan, pada usia 15 tahun, ia diajar menari Bali oleh pemain Ketoprak yang juga tukang cukur bernama Soegiyanto.
     Setelah kuliah di ASTI (Akademi Seni Tari Indonesia), Yogyakarta, sekarang ISI (Institut Seni Indonesia), Didik yang bernama asli Didik Hadiprayitno, seperti haus belajar tari kepada para maestro. Kemudian, ia berguru kepada Ni Ketut Sudjani (Temanggung), I Gusti Gde Raka (Bali), Rasimoen (Malang), Sawitri (Cirebon), Ni Ketut Reneng (Bali), Kamini (Surakarta), Bagong Kussudiardjo (Yogyakarta), BRA Yodonegoro (Yogyakarta), Sangeeta (India), Richard Emmert (Jepang), Sadamu Omura (Jepang), Jetty Roels (Belgia), Gojo Masanosuke (Jepang), serta beberapa nama maestro lain dari berbagai negara.
     Tak heran jika putra pertama dari pasangan Hadiprayitno-Suminah ini menguasai beragam tari, terutama yang berbasis  pada tradisi. Menariknya, sejak ia melejit lewat tari Nini Thowok, pada 1975, Didik memutuskan untuk terus menarikan tarian putri dengan warna komedi yang kental. Sejak itu, barangkali, Didik menjadi satu-satunya penari lelaki yang sangat serius menekuni tari-tarian putri.
     Banyak kesenian rakyat kita menunjukkan tarian perempuan diperankan laki-laki atau sebaliknya. Sebagai contoh, Sintren, Lais, dan Wari Lais di Cirebon atau Gandrung di Bali, Bissu di Makassar, Bedhoyo Kakung di (Keraton) Yogyakarta, dan Ludruk di Jawa Timur. Di Jepang, dikenal dengan nama Kabuki.
     Konon, dalam seni tradisi, pemeranan tokoh lelaki oleh perempuan bertujuan menghindari kekisruhan karena lelaki yang memerankan Arjuna, misalnya, selalu jadi idola. Hampir semua tokoh-tokoh dalam Topeng Cirebon adalah lelaki, sedangkan kebanyakan penarinya adalah perempuan. Di Yogyakarta, baru-baru ini ada rekonstruksi tentang Tari Bedhoyo Semang, tari sakral yang ditarikan laki-laki. Konon pula, kalau tarian ini ditarikan perempuan, akan ada hambatan. Namun, sebenarnya hal itu untuk menghindari kalau-kalau perempuan penari sedang menstruasi, istilahnya kotor, karena tarian ini merupakan tarian yang sakral. Oleh karena itu, laki-lakilah yang menarikannya.
Nama Nini Thowok sebenarnya berasal dari dari sebuah koreografi yang diciptakan Bekti Budi Hastuti, yang tak lain senior Didik di ASTI Yogyakarta. Dalam komposisi ini, Didik berperan sebagai perempuan dukun tua bernama Nini Thowok, yang setiap saat ketiban musibah, misalnya kondenya yang selalu lepas. Itu merupakan bagian dari tarian.
Sejak itulah, Didik sadar bahwa dia lebih cocok menarikan tarian perempuan dengan corak komedi. Kemudian, Didik menarikan karya ini dari kampus ke kampus, sampai-sampai, ia dikenal sebagai Didik Nini Thowok.
     Tahun 1999, cerita Didik, ia pernah ditanggap oleh sebuah hotel di Yogyakarta untuk menari. Sejak itulah, pertama kalinya ia pentas bersama dengan kesenian Nini Thowok yang asli dari Purworejo. “Ini pakai nyurup segala. Ngeri juga karena harus ada dukunnya untuk memanggil roh agar masuk ke dalam boneka,” Kata dia. Dalam tarian itu, Didik menembang Jawa untuk mengundang roh Nini Thowok. Dalam kesempatan ngobrol dengan rombongan dari Purworejo, Didik diberi tahu bahwa sebenarnya kata yang benar adalah  Nini Towong. Nini artinya perempuan, kata towong berasal dari ngento-ento yang artinya menyerupai, dan wong itu orang. Jadi, artinya boneka perempuan yang menyerupai manusia. “Tapi ya, sudah, saya sudah bertahun-tahun pakai Nini Thowok. Nanti, kalau diganti Thowong, malah kesurupan... ha-ha-ha,” kata Didik.
     Kemudian, ia juga melahirkan karya-karya penuh humor, seperti Tari Dwimuka (1987), Kuda Putih (1987), Dwimuka Jepindo (1999), Topeng Nopeng (1988), Topeng Walang Kekek (1980), serta ratusan karya lainnya. Karyanya yang masih sering dibawakan sampai sekarang adalah Tari Dwimuka. Tari itu masih mengundang decak kagum terhadap gerakan dan polah tingkah para tokoh yang dimainkan Didik di panggung. Tahun 1980, Didik mendirikan sanggar tari bernama Natya Lakshita, artinya, tari yang berciri.
     Tari telah menjadi pilihan hidup Didik. Hal itu dirasakannya sejak ia akan mulai kuliah. “Ya, tepatnya saat saya masuk ASTI tahun 1974. Padahal, kalau cita-cita awalnya, kan jadi pelukis. Saya mau kuliah di ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia, red), Yogyakarta. Tapi Bapak saya bangkrut. Kan Bapak kerja sebagai pengumpul kulit. Masuk ASRI itu perlu banyak biaya untuk membeli peralatan. Karena saya sudah menari sejak kecil dan menjadi guru tari saat tamat SMA, saya teruskan ke ASTI.”
     Saat kuliah di ASTI, Didik tinggal di rumah dosennya, Ngurah Suparta. Setiap pukul 05.00, ia dibangunkan untuk berlatih menari Bali.
     Sepanjang tahun 2004, ia melakukan perjalanan ke beberapa kota di mancanegara (Tokyo, San Fransisco, Washington, Vancouver, Berlin, Barcelona, dan beberapa kota di Inggris). Didik juga mengadakan festival di Yogyakarta. Dalam acara itu, ia mengundang para penari dari Jepang, India, dan Cina.

Sumber: Harian Kompas, 18 Januari 2004, dengan pengubahan  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar