ZIKIR
Aku
mengapung
Ringan
Meninggi
padamu. Bagai kapas menari-nari
Dalam
angin
Jumpalitan
bagai ikan
Bagai
lidah api
Bau
busuk mulutku, Anne
Seratus
tahun memanggi-manggil
Namamu
Inilah
zikirku:
Lelehan
aspal kealpaanku, cairan timah
Kekeliruanku,
gemuruh mesin keliaranku
Tumpukan
sampah keterpurukanku
Selokan
mampat kesia-siaanku
Aku
tak tidur padahal ngantuk, tak makan
Padahal
lapar, tak minum padahal haus
Tak
menangis padahal sedih, tak berobat
Padahal
luka, tak bunuh diri
Padahal
patah hati
Anne!
Anne! Anne!
Zikirku
seribu sepi menombakmu
Menembus
lapisan langitmu, membongkar
Gumpalan
megamu, membakar pusaran
Kabutmu,
menghanguskan jarak
Ruang
dan waktu
Aku mencair
Bagai air
Mengalir padamu. Bagai hujan
Tumpah ke bumi
Menggelinding bagai batu
Bagai
hantu
Anne!
Anne! Anne!
Inilah
rentetan tembakan kerinduanku, lemparan
Granat
ketakutanku, dentuman meriam kemabukanku
Luapan
minyak kegairahanku, kobaran tungku kecintaanku
Semburan
asap kepunahanku
Aku
tak mengemis padahal miskin, tak mencuri
Padahal
terdesak, tak merampok padahal banyak utang
Tak
menipu padahal ada kesempatan, tak menuntut
Padahal
punya hak, tak memaksa
Padahal
putus asa
Anne!
Anne! Anne!
Zikirku
seribu sunyi mengejarmu
Menggedor
barikade pertahananmu, menerobos
Dinding
persembunyianmu, mengobrak-abrik ruang
Semadimu,
menghancurkan singgasana
Kekhusyukanmu
Bau
busuk mulutku, Anne
Seratus
tahun memanggil-manggil
Namamu
LE NAUSEE
Buat Wing Kardjo
Jejak bulan telah hapus
Bumi tinggal rawa peradaban
Kata-kata menjadi belantara nilai
Tak terbaca. Bencana demi bencana
Bahkan pertikaian antar sesama
Telah membunuh bahasa. Sungai-sungai
Yang mengalirkan lumpur dan lahar
Sumbernya berasal dari kemarahan
Tahun-tahun lindap, abad-abad gelap
Mengekalkan kesumat. Langit merendah
Berkaca pada lembaran sejarah
Yang penuh darah. Harimau dan ular
Mengaum dan menjalar
Tak tertahan. Naik-turun gunung
Keluar-masuk hutan
Merambah dunia tanpa peta
1983
LE POETE MAUDIT
Buat
Saini K.M.
Mengurung
diri dalam tungku
Dibakar
cinta dan rindu
Api
memercik dari setiap tetes darah
Tubuhku
yang luka. Dan iman pun menyala
Di tengah
hamparan gurun tak bernama
Pasir-pasir
hanyut
Dalam
sujudku. Batu-batu
Tumpah
Mataku buta
oleh tangis seratus tahun
Pada puncak
tiang salib
Gairahku
menari. Gerobak sejarah
Lewat
Menyeret Sodom dan Gomorah
Kata-kata
mengalir
Dari setiap
desah napas
Tahajudku.
Dan iman pun membara
Mengobarkan
pertempuran tanpa akhir:
Kematian
melahirkanku kembali, mengulangku
Berkali-kali
1983
Acep
Zamzam Noor
DARI PENARI
BUAT PELUKIS
Lenganku
mencapai inti angin
Dan rahasia
gelombang. Lautan kurengkuh, kuurai-urai
Dalam gerak
perasaan. Tarianku pergesekan bulan
Dan
matahari. Persentuhan langit dan bumi
Akulah
udara yang mengasuhmu
Akulah mega
yang memayungi langkahmu
Akulah
topan yang menghangatkan hidupmu
Akulah
musim yang membukakan pintu
Akulah ular
yang menawarkan khuldi
:
Akulah ranjang
Nganga
sunyi
Kubur yang
menampungmu, duhai pelukisku sayang
Pinggulku
bergoyang, dadaku naik turun
O,
selendangku sayap burung
Aku
melayang-layang
Roh dan badan berzikir panjang. Menarikan
diam
1984
Acep
Zamzam Noor
DARI
PELUKIS BUAT PENARI
Lenganku mengikuti geliat udara, gemulai mega
Serta cuaca yang padat oleh kepak camar
Dalam naungan senja. Tubuhku menyerap ombak
Sekaligus menampung hempasan angin sakal
Lalu meliuk mengimbangi pasang, mengatasi topan
Bersama malam aku terus mengayuh sampan
Kekekalan. Melewati pelayaran demi pelayaran
Melampaui pendakian demi pendakian
Sembahyang demi sembahyang
O, kedip matamu, penariku idaman
Kesatuan roh dan badan
Tarianmu keheningan subuh, kebeningan ufuk
Yang jauh. Sujud dan rukuk
Kekhusyukan yang dipadatkan rindu
Bersama fajar lukisanku menggali cahaya
Menyulut sumbu waktu. Darah dan airmata
Warna-warna yang disemburkan kedalaman batu
1984
DI LUAR KATA
Musim panas membakar kata-kataku
Menjadi abu dan lelatu
Lalu menyeretku ke wilayah tak dikenal
Dunia tak terjangkau lidahku
Teriakanku lenyap dalam regukan besar waktu
Seperti embun yang terserap cahaya pagi
Aku ingin memahami isyarat ini:
Kegelapan telah mengiringi langkahku
Sedang mataku perih setiap mengenangkanmu
Adakah yang salah dari penglihatanku yang nanar
Sejak aku sembunyi di balik kabut musim dingin
Dan tumbuh menjadi si pembenci cahaya
Dunia di luar kata-kataku, Zlata
Dan nyanyianku tak menyuarakan apapun
Tapi airmataku terus mengalir padamu
Menjenguk puing-puing serta kuburan baru
Di bukit kotamu. Airmataku terus mengalir
Dari sanalah puisi akan memancarkan maknanya
***
MAWAR DARI TANGKAI USIA
Jika tubuh kupecah menjadi serpihan kecil
Yang tinggal hanyalah geliat doa
Mewarnai udara. Cahaya bulan akan meleleh
Tapi getaran lembutnya terus menyelimuti malam
Menumbuhkan mawar-mawar baru. O, detak jantungku
Kenapa tak kaupetik mawar dari tangkai usia
Hingga keindahan mekar dalam jambangan waktu
Ingin kugali kuburan untuk suara-suara nyaring
Yang mengusik keheningan kericik air
Sebab malu pada kesetiaan matahari pagi
Juga pada kesabaran sungai membasahi bumi
Aku kembali menjadi debu. Ibarat jambangan kasar
Tubuhku hanyalah wadah bagi tanaman liar
Daun-daun yang luruh itulah usiaku
***
Acep Zamzam Noor
BAGIAN DARI WAKTU
Kolam-kolam musim dingin yang jernih
Habis direguk musim panas yang kehausan
Sungai masih mengalir pelan dari balik gunung
Tapi gairahnya memancar jauh di lubuk lautan
Maka ke balik ombaklah ingin kupersembahkan
Nanar hatiku. Kesabaran ibarat sungai
Dan kebijaksanaan tak pernah minum terlalu banyak
Siapa yang berkhotbah sampai ke ufuk jauh
Dialah yang mengetahui rahasia semua musim
Tapi matahari tak pernah menghasut bumi
Sungai hanya mengalir pada jalurnya sendiri
Seperti darah pada nadi. O, getar hatiku
Kenapa cemas pada hari-hari yang menyusut
Kematian hanyalah bagian dari waktu
***
BAGIAN DARI WAKTU
Kolam-kolam musim dingin yang jernih
Habis direguk musim panas yang kehausan
Sungai masih mengalir pelan dari balik gunung
Tapi gairahnya memancar jauh di lubuk lautan
Maka ke balik ombaklah ingin kupersembahkan
Nanar hatiku. Kesabaran ibarat sungai
Dan kebijaksanaan tak pernah minum terlalu banyak
Siapa yang berkhotbah sampai ke ufuk jauh
Dialah yang mengetahui rahasia semua musim
Tapi matahari tak pernah menghasut bumi
Sungai hanya mengalir pada jalurnya sendiri
Seperti darah pada nadi. O, getar hatiku
Kenapa cemas pada hari-hari yang menyusut
Kematian hanyalah bagian dari waktu
***
Acep Zamzam Noor
TEMBANG BIRU
Seekor kupu-kupu menggelepar, sayang
Seekor kupu-kupu di dinding kamar
Angin menggerakkan gordin jendela
Badai kecil dalam cangkir. Kita minum bersama
Seekor kupu-kupu terkapar, sayang
Seekor kupu-kupu di atas bantal
Daun-daun nyiur di kedua lenganmu
Laut biru di tubuhmu. Kita berenang bersama
Buka gaunmu, sayang, kuliti tubuhmu
Copot jantungmu, lepas paru-parumu
Kita telanjang bagai kupu-kupu
Mengitari waktu. Mati bersama
***
TEMBANG BIRU
Seekor kupu-kupu menggelepar, sayang
Seekor kupu-kupu di dinding kamar
Angin menggerakkan gordin jendela
Badai kecil dalam cangkir. Kita minum bersama
Seekor kupu-kupu terkapar, sayang
Seekor kupu-kupu di atas bantal
Daun-daun nyiur di kedua lenganmu
Laut biru di tubuhmu. Kita berenang bersama
Buka gaunmu, sayang, kuliti tubuhmu
Copot jantungmu, lepas paru-parumu
Kita telanjang bagai kupu-kupu
Mengitari waktu. Mati bersama
***
Acep Zamzam Noor
DI SEPUTAR LOUVRE
Remang senja yang melumuri batu-batu trotoar
Menyentuh juga tiang-tiang lampu yang berukir indah
Sepanjang jembatan itu. Seperti jemari yang lentik
Cahaya merayapi tubuh jalanan, memanjati dinding pualam
Lalu mengaburkan diri pada pusaran kabut yang berwarna:
Paris nampak berkilauan dalam sebuah piramida kaca
***
DI SEPUTAR LOUVRE
Remang senja yang melumuri batu-batu trotoar
Menyentuh juga tiang-tiang lampu yang berukir indah
Sepanjang jembatan itu. Seperti jemari yang lentik
Cahaya merayapi tubuh jalanan, memanjati dinding pualam
Lalu mengaburkan diri pada pusaran kabut yang berwarna:
Paris nampak berkilauan dalam sebuah piramida kaca
***
Acep Zamzam Noor
SUNGAI SEINE
Waktu yang ditoreh ujung belati
Tepat pada lambungnya yang sunyi
***
SUNGAI SEINE
Waktu yang ditoreh ujung belati
Tepat pada lambungnya yang sunyi
***
Acep Zamzam Noor
MENYERAP TINTA DI LAUTAN
Akulah si miskin yang kaya
Dadaku berkilauan bukan oleh permata
Sebab cinta telah disodorkan kemurahan semesta
Padaku. Kini aku menyeret langkah ke segala penjuru
Dan menulis puisi di sudut-sudut malam
Di antara kesempitan bumi dan keluasan langit
Aku terus menggeliat dan menari
Sedih dan riangku menjadi tarian di udara
Lihatlah, langkahku berderap menyongsong matahari
Menempuh bukit demi bukit sepanjang rahasiamu abadi
Beribu penyair telah menyerap tinta di lautan
Pohon-pohon bergerak menuliskan kerinduan
Lihatlah, kain kafanku terus berkibaran
Memenuhi udara dengan bau keringat pengembara
Meskipun hatiku telah dilumuri lumpur hitam
Aku tahu cahaya masih akan terbit dari tatapan matamu
Setiap pagi. Kemudian kaubakar segala yang ada di bumi
Hingga gairahku menyala dan berkobar kembali
Siang dan malam akan terus berulang, seperti berulangnya
Hidup dan mati. Lihatlah, tidak ada lagi mahkota di kepalaku
Kemegahan hanya menganugerahiku sebatang pena:
Aku ingin menghabiskan semua tinta di lautan
Lalu bergerak bersama pohon-pohon menuliskan cinta
***
MENYERAP TINTA DI LAUTAN
Akulah si miskin yang kaya
Dadaku berkilauan bukan oleh permata
Sebab cinta telah disodorkan kemurahan semesta
Padaku. Kini aku menyeret langkah ke segala penjuru
Dan menulis puisi di sudut-sudut malam
Di antara kesempitan bumi dan keluasan langit
Aku terus menggeliat dan menari
Sedih dan riangku menjadi tarian di udara
Lihatlah, langkahku berderap menyongsong matahari
Menempuh bukit demi bukit sepanjang rahasiamu abadi
Beribu penyair telah menyerap tinta di lautan
Pohon-pohon bergerak menuliskan kerinduan
Lihatlah, kain kafanku terus berkibaran
Memenuhi udara dengan bau keringat pengembara
Meskipun hatiku telah dilumuri lumpur hitam
Aku tahu cahaya masih akan terbit dari tatapan matamu
Setiap pagi. Kemudian kaubakar segala yang ada di bumi
Hingga gairahku menyala dan berkobar kembali
Siang dan malam akan terus berulang, seperti berulangnya
Hidup dan mati. Lihatlah, tidak ada lagi mahkota di kepalaku
Kemegahan hanya menganugerahiku sebatang pena:
Aku ingin menghabiskan semua tinta di lautan
Lalu bergerak bersama pohon-pohon menuliskan cinta
***
Acep Zamzam Noor
NAPAS GUNUNG
Seperti senja yang bersimpuh di kaki langit
Kupuja bola matamu yang melelehkan cahaya redup
Serta hurup-hurup samar yang menuliskan
Keabadian. Senyummu yang tergantung di udara
Dinaungi gumpalan mendung yang kemerahan
Tuturmu yang menggulirkan butir-butir embun
Tak bisa kutampung dengan bibirku yang bergetar
Napas gunung yang dikibarkan kerudungmu
Menghijaukan sawah-sawah di hatiku
Selembar sajadah yang dihamparkan rindu
Membuatku tersungkur lagi. Kuhirup wangi tanah
Kucium akar rumputan dan dingin batu:
Seorang lelaki berlumuran darah
Ditikam sepasang alis matamu
Tariklah sedikit ujung kerudungmu, Dini
Agar langit menampakkan rahasia keindahannya
Pada bumi. Parasmu yang dipantulkan sinar bulan
Dengan bulu-bulu halusnya yang tersapu tiupan angin
Seakan menyibakkan yang selama ini tertutupi
Itulah sebabnya aku memuja bola matamu
Seperti seribu laron mengerumuni satu-satunya
Nyala lampu
***
NAPAS GUNUNG
Seperti senja yang bersimpuh di kaki langit
Kupuja bola matamu yang melelehkan cahaya redup
Serta hurup-hurup samar yang menuliskan
Keabadian. Senyummu yang tergantung di udara
Dinaungi gumpalan mendung yang kemerahan
Tuturmu yang menggulirkan butir-butir embun
Tak bisa kutampung dengan bibirku yang bergetar
Napas gunung yang dikibarkan kerudungmu
Menghijaukan sawah-sawah di hatiku
Selembar sajadah yang dihamparkan rindu
Membuatku tersungkur lagi. Kuhirup wangi tanah
Kucium akar rumputan dan dingin batu:
Seorang lelaki berlumuran darah
Ditikam sepasang alis matamu
Tariklah sedikit ujung kerudungmu, Dini
Agar langit menampakkan rahasia keindahannya
Pada bumi. Parasmu yang dipantulkan sinar bulan
Dengan bulu-bulu halusnya yang tersapu tiupan angin
Seakan menyibakkan yang selama ini tertutupi
Itulah sebabnya aku memuja bola matamu
Seperti seribu laron mengerumuni satu-satunya
Nyala lampu
***
Acep Zamzam Noor
GALANG
Tak lagi pergi harimu
Tak lagi datang malammu
Waktu telah berhenti
Di tubuhmu
***
GALANG
Tak lagi pergi harimu
Tak lagi datang malammu
Waktu telah berhenti
Di tubuhmu
***
Acep Zamzam Noor
NATUNA
Ingin selalu kupelihara gelombang
Di hatiku. Seperti halnya maut
Memelihara waktu
***
NATUNA
Ingin selalu kupelihara gelombang
Di hatiku. Seperti halnya maut
Memelihara waktu
***
Acep Zamzam Noor
PENYENGAT
Namamu yang terpahat pada marmar hitam
Huruf-hurufnya kembali kueja. Sebuah kaligrafi tua
Samar-samar tak terbaca
***
PENYENGAT
Namamu yang terpahat pada marmar hitam
Huruf-hurufnya kembali kueja. Sebuah kaligrafi tua
Samar-samar tak terbaca
***
Acep Zamzam Noor
MAHAKAM
Ada sebuah tongkang
Bergerak lamban
Menuju hulu. Ada sebuah detik
Berdetak nyaring di pergelangan tangan
Sebuah sajak yang sangsai
Kalimat-kalimatnya tak kunjung
Selesai. Seperti ajal
Yang senantiasa mengintai
***
MAHAKAM
Ada sebuah tongkang
Bergerak lamban
Menuju hulu. Ada sebuah detik
Berdetak nyaring di pergelangan tangan
Sebuah sajak yang sangsai
Kalimat-kalimatnya tak kunjung
Selesai. Seperti ajal
Yang senantiasa mengintai
***
Acep Zamzam Noor
TEPIAN RATU
Dipandang dari jendela, entah kenapa
Senja menjadi begitu sederhana. Seperti sungai
Yang memisahkan hutan dengan perkampungan
Seperti tongkang-tongkang yang menembus
Kabut yang remang, seperti kayu-kayu gelondongan
Yang meluncur pelahan. Dipandang dari jendela
Entah kenapa senja menjadi begitu sederhana
Seperti ajal yang datang tanpa bicara
***
TEPIAN RATU
Dipandang dari jendela, entah kenapa
Senja menjadi begitu sederhana. Seperti sungai
Yang memisahkan hutan dengan perkampungan
Seperti tongkang-tongkang yang menembus
Kabut yang remang, seperti kayu-kayu gelondongan
Yang meluncur pelahan. Dipandang dari jendela
Entah kenapa senja menjadi begitu sederhana
Seperti ajal yang datang tanpa bicara
***
Acep Zamzam Noor
TUGU
1
Di stasiun peninggalan kolonial, di bangku hijau
Yang berjejer menghadap rel, seorang perempuan putih
Menyampaikan sesuatu: mungkin isyarat, mungkin juga wasiat
Atau semacam maklumat yang santai
Tentang cinta yang langka. “Tahun depan aku kembali,” bisiknya
Dan perempuan putih itu (sebut saja demikian karena kulitnya terang
Karena kontras dengan kebaya luriknya yang kelam) berdiri dan berjalan
Ke pinggir rel, menyongsong datangnya kereta
Dari timur kereta datang. Rel bergetar, dinding ratusan tahun bergetar
Tiang besi, atap seng, gantungan lampu, jam besar
Semua bergetar. Dari timur kereta kusam yang bersaput debu
Datang dengan tulisan di badannya: Biru Malam
Seorang lelaki berkacamata hitam melambai, tapi lunglai
Seperti adegan film India. Lelaki itu
Tak bisa menahan bergulirnya airmata
(Padahal rambutnya gimbal, memakai gelang dan anting
Serta sebuah tato binatang di lengan kirinya)
Jarum pada jam seakan terdiam, seperti tiang besi yang dingin
2
“Sepi tak ada kaitannya dengan gelang, anting atau tato,” lelaki itu
Bergumam pada dirinya sendiri. Dulu ia mengenal kekasihnya
Di sebuah jalan paling terkenal, di depan gang paling banal
Tak jauh dari stasiun. “Rindu tak ada hubungannya dengan kacamata
Apalagi rambut gimbal,” gumamnya lagi. Lalu menenggak minuman
Nampaknya ia menangis. Yogyakarta diguyur gerimis
3
Seorang lelaki berlari patah-patah, menembus gerimis yang beranjak
Menjadi hujan. Seorang lelaki berlari patah-patah ke utara, terus ke utara
Seperti adegan film India. Dengan segumpal perasaan kehilangan
Lelaki itu memanjat tugu, merayap hingga ke puncaknya
Kemudian berdiri dan melambai-lambaikan tangan ke langit:
Mungkin memanggil seseorang, mungkin juga mengutuk seseorang
Seseorang yang belum lama dilepasnya pergi. ”Maryaaam...” pekiknya
Langit hanya diam. Airmata lelaki itu berlelehan
TUGU
1
Di stasiun peninggalan kolonial, di bangku hijau
Yang berjejer menghadap rel, seorang perempuan putih
Menyampaikan sesuatu: mungkin isyarat, mungkin juga wasiat
Atau semacam maklumat yang santai
Tentang cinta yang langka. “Tahun depan aku kembali,” bisiknya
Dan perempuan putih itu (sebut saja demikian karena kulitnya terang
Karena kontras dengan kebaya luriknya yang kelam) berdiri dan berjalan
Ke pinggir rel, menyongsong datangnya kereta
Dari timur kereta datang. Rel bergetar, dinding ratusan tahun bergetar
Tiang besi, atap seng, gantungan lampu, jam besar
Semua bergetar. Dari timur kereta kusam yang bersaput debu
Datang dengan tulisan di badannya: Biru Malam
Seorang lelaki berkacamata hitam melambai, tapi lunglai
Seperti adegan film India. Lelaki itu
Tak bisa menahan bergulirnya airmata
(Padahal rambutnya gimbal, memakai gelang dan anting
Serta sebuah tato binatang di lengan kirinya)
Jarum pada jam seakan terdiam, seperti tiang besi yang dingin
2
“Sepi tak ada kaitannya dengan gelang, anting atau tato,” lelaki itu
Bergumam pada dirinya sendiri. Dulu ia mengenal kekasihnya
Di sebuah jalan paling terkenal, di depan gang paling banal
Tak jauh dari stasiun. “Rindu tak ada hubungannya dengan kacamata
Apalagi rambut gimbal,” gumamnya lagi. Lalu menenggak minuman
Nampaknya ia menangis. Yogyakarta diguyur gerimis
3
Seorang lelaki berlari patah-patah, menembus gerimis yang beranjak
Menjadi hujan. Seorang lelaki berlari patah-patah ke utara, terus ke utara
Seperti adegan film India. Dengan segumpal perasaan kehilangan
Lelaki itu memanjat tugu, merayap hingga ke puncaknya
Kemudian berdiri dan melambai-lambaikan tangan ke langit:
Mungkin memanggil seseorang, mungkin juga mengutuk seseorang
Seseorang yang belum lama dilepasnya pergi. ”Maryaaam...” pekiknya
Langit hanya diam. Airmata lelaki itu berlelehan
Acep Zamzam Noor
TIGA KOMPOSISI
1
Keindahan tersusun dari alis tebal yang hitam kecokelatan
Hidung bertindik serta bibir yang retak-retak mirip tembaga
Kemerduan terdengar dari rintih kesendirian, dari lenguh kesepian
Dari ketabahan yang senantiasa berjaga sekitar ranjang dan sofa
Saat-saat genting akan tiba ketika suku kata menghadirkan semua bunyi
Pada setiap ucapan. Dan keheningan segera mengendap jika kalimat
Menenggelamkan seluruh hurufnya menjadi konsonan-konsonan
Yang hanya bisa dibaca serta dipahami oleh kediaman pagi
2
Keanggunan memahat bukit karang menjadi patung telanjang
Dengan payudara besar yang menyerupai monumen purba
Keseimbangan mengukir lekuk gelombang pada lebar pinggang
Pada lingkar pinggul. Berdirilah di ujung senja tanpa kata-kata
Dan saksikan bagaimana ajal melenggang layaknya seorang balerina
Penari tua yang begitu riang menebarkan pesona sekaligus bencana
Ke tengah dunia. Keindahan dan ajal bersahutan melempar suara
Yang terus memantulkan gema dari samudera ke samudera
TIGA KOMPOSISI
1
Keindahan tersusun dari alis tebal yang hitam kecokelatan
Hidung bertindik serta bibir yang retak-retak mirip tembaga
Kemerduan terdengar dari rintih kesendirian, dari lenguh kesepian
Dari ketabahan yang senantiasa berjaga sekitar ranjang dan sofa
Saat-saat genting akan tiba ketika suku kata menghadirkan semua bunyi
Pada setiap ucapan. Dan keheningan segera mengendap jika kalimat
Menenggelamkan seluruh hurufnya menjadi konsonan-konsonan
Yang hanya bisa dibaca serta dipahami oleh kediaman pagi
2
Keanggunan memahat bukit karang menjadi patung telanjang
Dengan payudara besar yang menyerupai monumen purba
Keseimbangan mengukir lekuk gelombang pada lebar pinggang
Pada lingkar pinggul. Berdirilah di ujung senja tanpa kata-kata
Dan saksikan bagaimana ajal melenggang layaknya seorang balerina
Penari tua yang begitu riang menebarkan pesona sekaligus bencana
Ke tengah dunia. Keindahan dan ajal bersahutan melempar suara
Yang terus memantulkan gema dari samudera ke samudera
3
Kekhusyukan seperti pemanjat tebing yang merayapi rambut ikal
Menapaki sulur-sulur kekekalan. Dan maut seperti peselancar nakal
Yang menerobos lorong darah, menyusuri celah napas serta melintasi
Selasar jantung. Kepasrahan tergambar dari bangsal rumah sakit
Dari ruang persalinan. Kelahiran dan kematian adalah saudara kembar
Yang berbeda wajah dan lama terpisah, namun mereka akan bertemu
Pada saatnya. Seperti sepasang kekasih yang ditakdirkan berjauhan
Seperti cinta dan maut yang ternyata saling merindukan
***
Kekhusyukan seperti pemanjat tebing yang merayapi rambut ikal
Menapaki sulur-sulur kekekalan. Dan maut seperti peselancar nakal
Yang menerobos lorong darah, menyusuri celah napas serta melintasi
Selasar jantung. Kepasrahan tergambar dari bangsal rumah sakit
Dari ruang persalinan. Kelahiran dan kematian adalah saudara kembar
Yang berbeda wajah dan lama terpisah, namun mereka akan bertemu
Pada saatnya. Seperti sepasang kekasih yang ditakdirkan berjauhan
Seperti cinta dan maut yang ternyata saling merindukan
***
Acep Zamzam Noor
AKU INGIN MENEMANIMU
Aku ingin menemanimu pulang malam ini
Menaiki bis kota dan berhimpitan di dalamnya
Aku ingin menemanimu sampai halte berikutnya
Sampai kilometer selanjutnya, turun depan kantor polisi
Menunggu metro mini. Aku ingin menemanimu bersidekap
Dalam angkutan yang pengap, melewati sejumlah lampu merah
Melewati sekian perlintasan kereta api, melewati jalan-jalan layang
Melewati terowongan-terowongan hingga terjebak kemacetan
Dekat terminal. Aku ingin menemanimu menarik napas panjang
Mengeluarkan tisu dan mengelap keringat di kening serta lehermu
Aku ingin menemanimu turun dari kendaraan rombeng itu
Berjalan menuju pangkalan ojek. Aku ingin menemanimu
Melintasi tanah-tanah berlubang, menerobos liku-liku gang
Hingga pekarangan rumah kontrakanmu yang penuh jemuran
Aku ingin menemanimu membuka pintu, memasuki kamarmu
Mencopot sepatu, melepas semua pakaian dan melemparkannya
Ke bawah dipan. Aku ingin menemanimu menghidupkan kipas angin
Lalu meneguk air mineral yang dingin. Aku ingin menemanimu
Menyalakan televisi, menonton film biru dan mengisap candu
Aku ingin menemanimu bermain-main dengan sepi di kamarmu
***
AKU INGIN MENEMANIMU
Aku ingin menemanimu pulang malam ini
Menaiki bis kota dan berhimpitan di dalamnya
Aku ingin menemanimu sampai halte berikutnya
Sampai kilometer selanjutnya, turun depan kantor polisi
Menunggu metro mini. Aku ingin menemanimu bersidekap
Dalam angkutan yang pengap, melewati sejumlah lampu merah
Melewati sekian perlintasan kereta api, melewati jalan-jalan layang
Melewati terowongan-terowongan hingga terjebak kemacetan
Dekat terminal. Aku ingin menemanimu menarik napas panjang
Mengeluarkan tisu dan mengelap keringat di kening serta lehermu
Aku ingin menemanimu turun dari kendaraan rombeng itu
Berjalan menuju pangkalan ojek. Aku ingin menemanimu
Melintasi tanah-tanah berlubang, menerobos liku-liku gang
Hingga pekarangan rumah kontrakanmu yang penuh jemuran
Aku ingin menemanimu membuka pintu, memasuki kamarmu
Mencopot sepatu, melepas semua pakaian dan melemparkannya
Ke bawah dipan. Aku ingin menemanimu menghidupkan kipas angin
Lalu meneguk air mineral yang dingin. Aku ingin menemanimu
Menyalakan televisi, menonton film biru dan mengisap candu
Aku ingin menemanimu bermain-main dengan sepi di kamarmu
***
Acep Zamzam Noor
PANTAI LOSARI
Angin yang nakal
Menyapu rambut ikalmu
Dari arah laut. Butiran pasir
Berhamburan ke udara
Seakan kabut
Yang ingin menguraikan diri
Surya melenggang
Melewati rembang petang
Benang-benang halusnya
Menerpa wajahmu
Ada rona
Di pipimu
Kilau tembaga
Di retak bibirmu
Kugerus garam
Pada semenanjung
Yang cekung. Pundakmu
Menggelinjang
Menikung
Ada ubur-ubur
Di susumu
Hutan lindung
Di bawah pusarmu
Kukayuh sampan
Pada ombak selatan
Yang ganas. Kudengar
Napasmu lepas
Kudengar menderas
Ada goa
Di hutanmu
Binatang buas
Di pedalaman hatimu
Kulempar sauh
Dari ujung buritan
Yang goyah. Suaramu
Tinggal lenguh
Tinggal desah
Ada lagu
Dalam eranganmu
Sudut basah
Yang dihuni rindu
Angin tenggara
Menghalau napasmu
Ke gigir usia. Hamburan batu
Menjadi debu di udara
Ada sunyi
Di ujung lidahmu
Pisau belati
Yang merobek kelambu
Kuikuti alun ombak
Pada palung
Yang dalam. Pinggulmu
Bergelombang
Bergoyang
Ada diam
Di pejam matamu
Sesungging senyuman
Yang disembunyikan waktu
Surya menghilang
Di balik tebing karang
Seperti pintu
Yang menutup diam-diam
Seperti lampu
Yang meredup pelan-pelan
***
PANTAI LOSARI
Angin yang nakal
Menyapu rambut ikalmu
Dari arah laut. Butiran pasir
Berhamburan ke udara
Seakan kabut
Yang ingin menguraikan diri
Surya melenggang
Melewati rembang petang
Benang-benang halusnya
Menerpa wajahmu
Ada rona
Di pipimu
Kilau tembaga
Di retak bibirmu
Kugerus garam
Pada semenanjung
Yang cekung. Pundakmu
Menggelinjang
Menikung
Ada ubur-ubur
Di susumu
Hutan lindung
Di bawah pusarmu
Kukayuh sampan
Pada ombak selatan
Yang ganas. Kudengar
Napasmu lepas
Kudengar menderas
Ada goa
Di hutanmu
Binatang buas
Di pedalaman hatimu
Kulempar sauh
Dari ujung buritan
Yang goyah. Suaramu
Tinggal lenguh
Tinggal desah
Ada lagu
Dalam eranganmu
Sudut basah
Yang dihuni rindu
Angin tenggara
Menghalau napasmu
Ke gigir usia. Hamburan batu
Menjadi debu di udara
Ada sunyi
Di ujung lidahmu
Pisau belati
Yang merobek kelambu
Kuikuti alun ombak
Pada palung
Yang dalam. Pinggulmu
Bergelombang
Bergoyang
Ada diam
Di pejam matamu
Sesungging senyuman
Yang disembunyikan waktu
Surya menghilang
Di balik tebing karang
Seperti pintu
Yang menutup diam-diam
Seperti lampu
Yang meredup pelan-pelan
***
Acep Zamzam Noor
FORT ROTTERDAM
Semburat fajar
Mewarnai langit tenggara
Udara yang terbakar
Tercium dari puing-puing
Pelabuhan. Cahaya susut
Garam-garam kabut
Dan sebuah gema
Yang ditembakkan ke laut
Kisahmu tinggal jejak-jejak kaki
Para pemburu udang. Waktu
Hanya asap
Yang mengepul
Dari tungku
Perahu-perahu di kejauhan
Tak lagi bergerak
Ke arahmu. Hanya sisa ombak
Gelombang lunak
Dan bintang-bintang mati
Yang berjatuhan
Kemudian sebuah peta
Di balik rambutmu
Menunjukkan isyarat
Yang tak pernah terbaca:
Ada gambar badik di pundakmu
Kisahmu tinggal kerumunan jam
Di pergelangan. Angka-angka
Yang berloncatan
Hurup-hurup yang tumbang
Ke haribaan
Pulau-pulau yang pergi
Tak akan kembali
Menemui pagi. Hanya sisa lampu
Kelap-kelip tak menentu
Semacam ajal
Yang kehilangan sinyal
Kemudian tubuhmu
Gelap tubuhmu
Mengisyaratkan jejak
Yang tak pernah tercatat:
Sebuah peta terukir dekat pusarmu
Kematian yang seksi
Menyelinap
Ke balik sunyi. Seperti burung
Dengan sayap-sayap besi
Seperti kawat
Yang mengalirkan birahi
Kisahmu tinggal percikan air
Pada pasir. Usia
Hanya balon udara
Yang pecah
Menjadi rahasia
***
FORT ROTTERDAM
Semburat fajar
Mewarnai langit tenggara
Udara yang terbakar
Tercium dari puing-puing
Pelabuhan. Cahaya susut
Garam-garam kabut
Dan sebuah gema
Yang ditembakkan ke laut
Kisahmu tinggal jejak-jejak kaki
Para pemburu udang. Waktu
Hanya asap
Yang mengepul
Dari tungku
Perahu-perahu di kejauhan
Tak lagi bergerak
Ke arahmu. Hanya sisa ombak
Gelombang lunak
Dan bintang-bintang mati
Yang berjatuhan
Kemudian sebuah peta
Di balik rambutmu
Menunjukkan isyarat
Yang tak pernah terbaca:
Ada gambar badik di pundakmu
Kisahmu tinggal kerumunan jam
Di pergelangan. Angka-angka
Yang berloncatan
Hurup-hurup yang tumbang
Ke haribaan
Pulau-pulau yang pergi
Tak akan kembali
Menemui pagi. Hanya sisa lampu
Kelap-kelip tak menentu
Semacam ajal
Yang kehilangan sinyal
Kemudian tubuhmu
Gelap tubuhmu
Mengisyaratkan jejak
Yang tak pernah tercatat:
Sebuah peta terukir dekat pusarmu
Kematian yang seksi
Menyelinap
Ke balik sunyi. Seperti burung
Dengan sayap-sayap besi
Seperti kawat
Yang mengalirkan birahi
Kisahmu tinggal percikan air
Pada pasir. Usia
Hanya balon udara
Yang pecah
Menjadi rahasia
***
Acep Zamzam Noor
CELUKAN BAWANG
Kadang airmataku menjadi butiran garam
Yang berkilauan di bawah bulan
Tanganku gemetar dan jemariku memercikkan air
Sebuah tembang mengalirkan masa kanak-kanakku
Yang terasa dingin, asing dan sangat jauh
Kupilih menyendiri di pelabuhan kecil ini
Sambil menggambari pasir dengan ingatanku
Di penghujung malam kadang aku berteriak
Bersama rumputan, batu karang dan ombak pasang
Atau kadang menjerat bintang-bintang
Dengan tarianku. Setiap fajar tiba
Wajahku menjadi ungu oleh sajak-sajak
Yang tak kunjung dituliskan
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar