Jumat, 15 November 2013

MOZAIK PERTUMBUHAN SASTRA DI INDONESIA

DATA BUKU :
-        Judul: Sastra Indonesia Awal: Kontribusi Orang Tionghoa
-        Penulis: Claudine Salmon
-        Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
-        Cetakan: I, Desember 2010
-        Tebal: 562 halaman
-        ISBN: 978-979-91-0294-2

OLEH: BANDUNG MAWARDI

     Ikhtiar menarasikan jejak sejarah sastra awal memang bisa mengejutkan, menyulut curiga, tetapi juga dapat melegakan kehausan pembaca.

     Penelusuran kontribusi dari kalangan Tionghoa Peranakan terhadap perkembangan sastra Indonesia awal ini seolah menguak misteri yang tersirat di dalam produksi buku-buku sejarah sastra yang sebelumnya sudah dilakukan oleh A Teeuw, HB Jassin, Bakrie Siregar, Ajip Rosidi, Sapardi Djoko Damono, dan Jacob Sumardjo.

     Lembaran sejarah sastra di Indonesia ingin disingkap dengan sorotan kritis dan reflektif oleh Claudine Salmon sehingga dia mengantar pembaca pada petualangan teks sastra, pengenalan biografi-biografi kecil, dan pemahaman latar zaman saat proyek literasi disemai di Indonesia pada abad ke-19 dan ke-20.

     Dua puluh esai dalam buku ini memunculkan pikat untuk pembayangan atas perkembangan sastra dari zaman ke zaman. Keberadaan surat kabar, industri buku, dan komunitas literasi memberi bukti tentang gairah sastra di Indonesia oleh kalangan pengarang dan pembaca Tionghoa Peranakan. Mereka menjadi pemula dari agenda penerjemahan-penyaduran sastra dari China dan Barat. Penulisan sastra dalam bentuk syair, cerita bersambung, drama, dan novel juga dipelopori merekasebagai konsekuensi modernisasi di Hindia Belanda. Sastra menjadi bagian dari perubahan sosial-kultural-politik, dan kalangan Peranakan menjalankan peran strategis untuk mengobarkan gairah literasi di negeri terjajah.

Informasi produksi dan perkembangan sastra sudah terekam dalam iklan-iklan yang muncul, tapi masih diselimuti misteri. Selain membuat penasaran, iklan juga memuat informasi tentang minat dan pergaulan masyarakat di Hindia Belanda dengan khazanah sastra dunia dan sastra China klasik. Iklan sastra menguak asal mula kesusastraan Melayu Tionghoa dalam bentuk cetakan, jumlah hasil penerjemahan roman Tionghoa dalam bahasa Melayu, dan model-model pendahulu kesusastraan Indonesia modern.

     Iklan itu ditulis oleh Ting Sam Sien di Semarang (1886) dalam bentuk syair Melayu. Ada 41 buku cerita ditawarkan dengan penjelsan dan rincian untuk kepentingan penjualan. Simaklah petikan iklan sastra ini: Banjak lah tabe hormat besrenta,/ Pada pembatja sekalian rata,/ dari hal segala boekoe tjerita,/ Njang ada terdjoewal di toko kita// Di bawah ini saja menbrita,/ Pada sekalian pembatja kita,/ Dari hal segala boekoe tjerita,/ Harganja djoega poen ada besrenta (halaman 70). Makna iklan adalah mengawali proses pengenalan roman dan penulisan sastra dalam unsur kelokalan. Kelahiran  Sitti Nurbaya (1922) oleh Marah Rusli kemungkinan turut dipengaruhi oleh jejak awal produksi buku cerita di kalangan Tionghoa Peranakan.

Sastra pemula

     Claudine Salmon menengarai, perkembangan usaha penerbitan dalam bahasa Belanda dan Melayu Tionghoa pada 1880-an merupakan momentum penting dalam sejarah kesusastraan Melayu di Jawa. Industri penerbitan adalah basis dalam pembentukan masyarakat literasi. Kondisi ini menjadi latar dari kelahiran novel Melayu Tionghoa Thit Liap Seng (Bintang Toedjoeh) oleh Lie Kim Hok. Diduga ini merupakan olah-campur dari dua novel Eropa: Klaasje Zevenster (J van Lennep, 1802-1868) dan Les Tribulations d’un Chinois en Chine (Jules Verne, 1828-1905). Penerbitan novel ini menjadi pemula daris sastra Melayu Tionghoa. Penemuan dan pengakuan ini memang jauh dari pengetahuan publik sastra karena datanya masih susah dijelaskan.

     Kerja penelitian Claudine Salmon dalam buku ini tampak menyajikan lebih banyak mozaik ketimbang sastra China Peranakan dalam bahasa Melayu (1985). Esai-esainya kentara memberikan multiprespektif untuk meletakkan dan memknai sastra dalam pelbagai konteks. Penulisan sebuah novel, profil dan aktivitas pengarang, industri percetakan, dan pers menjadi sumber-sumber informasi dalam pengayaan pemahaman sastra dan situasi zaman. Pembacaan dan penjelasan Claudine Salmon mirip pengumpulan serakan-serakan data untuk dinarasikan dengan naluri historis. Model ini mengesankan pembaca sanggup memasuki labirin sejarah sastra Indonesia awal dengan kegairahan dan kekhusukan.

     Uraian memikat tampil dalam esai “Masyarakat Pribumi Indonesia di Mata Penulis Keturunan Tionghoa (1920-1941)”. Esai ini menandai adanya limpahan pengetahuan melalui sastra untuk membaca dan mengenali konstruksi identitas, transformasi sosial-kultural, dan narasi politis dalam pengisahan. Novel-novel penulis keturunan Tionghoa sanggup merekam, mendefinisikan, dan menebar tendensi untuk memerkarakan kalangan pribumi. Aksara menjadi representasi dari lakon hidup pribumi. Kisah menjelma sebagai pengimajinasian hidup dan biografi kaum pribumi.

     Gambaran tentang kehidupan kaum priyayi dan pembaratan di Jawa dikisahkan dalam Boeat Apa Ada Doenia (1929) karya Njoo Cheong Seng. Model pendidikan ala Barat telah membuat kaum priyayi mengalami dilema secara kultural, sosila, ekonomi, dan politik. Pembaratan berlangsung dan mengalir dalam diri priyayi. Pemahaman atas nilai-nilai tradisional kejawaan bertarung dengan indoktrinasi nilai-nilai Barat melalui jalur pendidikan, pers, dan institusi politik. Contoh kecil ini memberikan pengertian bahwa konsentrasi dan kerja riset Claudine Salmon kerap dihadapkan pada keringat tafsiran karen kelangkaan sumber data.

     Buku ini pantas menjadi sandaran untuk kembali merenungi kronik sastra dan pemahaman publik terhadap kontribusi kaum Tionghoa Peranakan dalam pertumbuhan kesusastraan di Indonesia. Sejarah resmi sastra memang jarang memberi ruang untuk mereka. Pembahasan mendalam tentang signifikansi sastra dan geliat zaman melalui karya mereka juga jarang disuarakan. Claudine Salmon menyapa pembaca untuk melakukan petualangan kritis dalam membuka dan menulis lagi lembaran-lembaran sejarah sastra.

BANDUNG MAWARDI_Pengelola Jagat Abjad Solo
Sumber: Harian Kompas, Minggu, 19 Juni 2011        

Tidak ada komentar:

Posting Komentar