Mendengar nama Baduy, yang melekat dalam pikiran
masyarakat umum adalah orang yang berpakaian khas hitam-hitam, memakai ikat kepala, serta golok yang diikat di
pinggang. Kalau
bepergian keluar wilayahnya, mereka
berjalan kaki tanpa memakai alas kaki, baik sandal ataupun sepatu. Sekilas tampak menakutkan
dan menurut cerita, mereka
memiliki ilmu-ilmu supranatural yang hebat. Namun anggapan itu tidak semuanya
benar jika telah mengunjungi Baduy Luar maupun Baduy Dalam.
Secara geografis, Baduy yang berjumlah 52 perkampungan, termasuk ke dalam wilayah Desa Kanekes, Kecamatan Leuwi Damar, Kabupaten Lebak. Luas keseluruhan desa 5.108 hektare, terdiri atas 3.000 ha hutan lindung dan 2.108 ha lahan pemukiman penduduk. Dari data statistik hasil sensus tahun 2000, penduduk Baduy berjumlah 7.317, yaitu 3.776 orang laki-laki dan 3.641 orang perempuan.
Secara geografis, Baduy yang berjumlah 52 perkampungan, termasuk ke dalam wilayah Desa Kanekes, Kecamatan Leuwi Damar, Kabupaten Lebak. Luas keseluruhan desa 5.108 hektare, terdiri atas 3.000 ha hutan lindung dan 2.108 ha lahan pemukiman penduduk. Dari data statistik hasil sensus tahun 2000, penduduk Baduy berjumlah 7.317, yaitu 3.776 orang laki-laki dan 3.641 orang perempuan.
Menuju lokasi perkampungan
orang Baduy, kita
harus berjalan kaki melewati jalan tanah setapak yang naik turun dan
lereng-lereng bukit curam. Tentunya
harus ekstra hati-hati untuk menghindari kecelakaan tak terduga. Terlebih saat musim hujan
karena jalanannya licin.
Pada umumnya, pemukiman mereka berada di
lereng-lereng bukit, lembah
yang ditumbuhi pohon-pohon besar, atau di dekat dengan sumber mata air
atau aliran sungai. Ada lima anak sungai yang mengalir ke wilayah
perkampungan Baduy, yaitu Cimangseuri, Ciparahhiang, Cibeueung, dan Cibarani yang
semua berinduk ke Sungai Ciujung. Perumahan adat Baduy Luar berbentuk rumah panggung, atapnya terbuat dari daun
rumbia, Sedangkan
lantai serta dinding rumah dari bambu.
Memasuki wilayah Baduy Dalam ada aturan-aturan adat yang harus dipatuhi. Aturan tersebut di antaranya tidak boleh menggunakan barang-barang elektronik, tidak boleh membawa senjata tajam, mencuci atau mandi tidak boleh menggunakan sabun, dan tidak boleh membawa minuman keras.
Mata pencaharian utama orang Baduy adalah Bertani. Mereka menanam padi huma, palawija, dan membuat gula aren. Oleh karena itu, saat memasuki pinggiran perkampungan Baduy Dalam terlihat rumah-rumah panggung kecil yang disebut leuit (lumbung padi). Konon padi bisa bertahan puluhan tahun jika disimpan dalam leuit itu. Masyarakat Baduy Dalam memiliki prinsip, pantang menjual padi atau beras sekalipun ke tetangga. Sebagai gantinya mereka melakukan barter atau membelinya ke luar Desa Kanekes meskipun sekarang sudah ada pedagang keliling yang datang ke wilayah Baduy.
Memasuki wilayah Baduy Dalam ada aturan-aturan adat yang harus dipatuhi. Aturan tersebut di antaranya tidak boleh menggunakan barang-barang elektronik, tidak boleh membawa senjata tajam, mencuci atau mandi tidak boleh menggunakan sabun, dan tidak boleh membawa minuman keras.
Mata pencaharian utama orang Baduy adalah Bertani. Mereka menanam padi huma, palawija, dan membuat gula aren. Oleh karena itu, saat memasuki pinggiran perkampungan Baduy Dalam terlihat rumah-rumah panggung kecil yang disebut leuit (lumbung padi). Konon padi bisa bertahan puluhan tahun jika disimpan dalam leuit itu. Masyarakat Baduy Dalam memiliki prinsip, pantang menjual padi atau beras sekalipun ke tetangga. Sebagai gantinya mereka melakukan barter atau membelinya ke luar Desa Kanekes meskipun sekarang sudah ada pedagang keliling yang datang ke wilayah Baduy.
Orang Baduy Dalam sering
disebut Urang Tangtu, Urang Kajeroan, atau
Urang Girang. Wilayahnya
meliputi tiga kampung, yaitu
Cibeo disebut Tangtu Parahiang, Cikeusik disebut Tangtu Pada Ageng, dan Cikertawarna disebut Tangtu
Kadu Panjang. Tiap kampung Baduy Dalam dipimpin oleh seorang Puun, yaitu
tokoh masyarakat yang tidak boleh pergi atau berkunjung ke luar Desa Kanekes.
Menurut penuturan Ayah
Mursid, seorang Jaro Tangtu yang mewakili Puun Janteu untuk menerima tamu atau
pengunjung, ada beberapa upacara adat yang sering dilaksanakan, yaitu adat
kelahiran yang dibantu paraji (dukun beranak). Setelah bayi berusia beberapa minggu, orang tua bayi memberi nama
yang berdekatan dengan nama kedua orang tuanya. Kalau laki-laki diberi nama
yang berdekatan dengan sang ibu. Misalnya, ibunya bernama Sarce, maka nama anaknya Sarmad. Seandainya yang lahir itu
anak perempuan, nama
sang anak akan berdekatan dengan nama ayah. Setelah bayi mencapai usia
40 hari digelar upacara adat yang disebut mulangkeun
angir yaitu memberikan persembahan
kepada paraji berupa gula, beras, dan dua ekor ayam.
Upacara lainnya adalah upacara
kematian. Upacara ini melalui empat tahap, yaitu dimandikan, dikafani,diajikeun (didoakan) oleh keluarga dan
kerabat, dipimpin oleh penghulu, dan terakhir dikuburkan dengan posisi kepala
di sebelah barat menghadap ke selatan. Setelah itu, ada upacara selamatan
selama tujuh hari di rumah yang ditinggalkan.
Dalam mencari jodoh, remaja Baduy tidak boleh
sembarangan, khususnya
di Baduy
Dalam, semuanya
diatur oleh orang tuanya. Jika
kedua orang tuanya sudah merasa cocok, mereka harus melaporkan kepada juru
ramal untuk menentukan pelaksanaan pernikahan. Waktu antara kesepakatan
dan pelaksanaan pernikahan biasanya lebih dari satu tahun. Selama kurun waktu tersebut
kedua calon mempelai pengantin dididik cara berumah tangga yang baik.
Dalam proses pernikahan, Puun bertindak sebagai penghulu
yang juga mewakili wali mempelai wanita untuk menikahkan anaknya. Artinya, orang tua mempelai perempuan
mewakilkan kepada Puun untuk menikahkan anaknya. Mahar atau mas kawinnya
adalah uang tunai berupa uang logam dalam sebuah kantong sebesar Rp
2.500,00 dan sebuah cin-cin emas atau perak yang beratnya bervariasi.
Peranan Puun sebagai bagian
dari struktur adat dalam kehidupan sehari-hari amatlah penting, khususnya dalam pengambilan
keputusan menyangkut kepentingan umum. Pucuk pimpinan dari struktur adat
dipimpin oleh Puun Tri Tunggal, yaitu Puun Sadi di Kampung Cikeusik, Puun
Janteu di Kampung Cibeo, dan Puun Kiteu di Cikertawarna.
Puun dipilih berdasarkan
garis keturunan atau ikatan darah, seperti di kerajaan. Wakil Puun disebut Jaro
Tangtu yang bertugas sebagai juru bicara dengan pemerintahan desa, pemerintahan daerah atau
pemerintahan pusat. Untuk
kelancaran tugas, Puun
dibantu oleh Baresan Salapan
(sembilan orang) untuk Cibeo dan Baresan
Tujuh untuk Cikertawarna, yang
semuanya merupakan aparat desa. Untuk
bidang keamanan, Puun
dibantu oleh girang Seurat.
Di Baduy Dalam, ada yang disebut dengan tangkesan, yakni orang yang memberikan surat keputusan pengangkatan dan pemberhentian kepada Puun atau pemimpin adat lainnya. Tangkesan dan Tanggungan dibantu oleh Jaro Pamerintah serta kokolot yang berada diwilayah Baduy Luar.
Di Baduy Dalam, ada yang disebut dengan tangkesan, yakni orang yang memberikan surat keputusan pengangkatan dan pemberhentian kepada Puun atau pemimpin adat lainnya. Tangkesan dan Tanggungan dibantu oleh Jaro Pamerintah serta kokolot yang berada diwilayah Baduy Luar.
Suku Baduy mengenal struktur
pemerintahan desa yang dipimpin Kepala Desa Kanekes. Dalam istilah Baduy disebut Jaro Pamerintah dengan kewenangan sangat
terbatas. Bedanya, Kepala Desa Kanekes tidak dipilh oleh masyrakat,
tetapi diajukan oleh Jaro Tanggungan dan Baris Kolot yang diajukan kepada Puun
Tri Tunggal. Selanjutnya, diadakan musyawarah untuk
memutuskan orang yang pantas dijadikan kepala desa sesuai dengan kriteria Puun.
Pandangan hidup orang Baduy secara
filosofi cukup dalam, terutama dalam menjaga kelestarian alam sekitar. Ketika
memberi sesuatu kepada orang Baduy baik berupa uang atau barang harus
berlandaskan keridaan dangan selalu mengatakan “
sing rido nya “.( Sumber : Pikiran Rakyat, 31 Desember 2005 )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar