Jumat, 08 November 2013

POTRET KEHIDUPAN SUKU BADUY

     Mendengar nama Baduy, yang melekat dalam pikiran masyarakat umum adalah orang yang berpakaian khas hitam-hitam, memakai ikat kepala, serta golok yang diikat di pinggang. Kalau bepergian keluar wilayahnya, mereka berjalan kaki tanpa memakai alas kaki, baik sandal ataupun sepatu. Sekilas tampak menakutkan dan menurut cerita, mereka memiliki ilmu-ilmu supranatural yang hebat. Namun anggapan itu tidak semuanya benar jika telah mengunjungi Baduy Luar maupun Baduy Dalam.
     Secara geografis, Baduy yang berjumlah 52 perkampungan, termasuk ke dalam wilayah Desa Kanekes, Kecamatan Leuwi Damar, Kabupaten Lebak. Luas keseluruhan desa 5.108 hektare, terdiri atas 3.000 ha hutan lindung dan 2.108 ha lahan pemukiman penduduk. Dari data statistik hasil sensus tahun 2000, penduduk Baduy berjumlah 7.317, yaitu 3.776 orang laki-laki dan 3.641 orang perempuan.
              Menuju lokasi perkampungan orang Baduy, kita harus berjalan kaki melewati jalan tanah setapak yang naik turun dan lereng-lereng bukit curam. Tentunya harus ekstra hati-hati untuk menghindari kecelakaan tak terduga. Terlebih saat musim hujan karena jalanannya licin.
              Pada umumnya, pemukiman mereka berada di lereng-lereng bukit, lembah yang ditumbuhi pohon-pohon besar, atau di dekat dengan sumber mata air atau aliran sungai. Ada lima anak sungai yang mengalir ke wilayah perkampungan Baduy, yaitu Cimangseuri, Ciparahhiang, Cibeueung, dan Cibarani yang semua berinduk ke Sungai Ciujung. Perumahan adat Baduy Luar berbentuk rumah panggung, atapnya terbuat dari daun rumbia, Sedangkan lantai serta dinding rumah dari bambu.
     Memasuki wilayah Baduy Dalam ada aturan-aturan adat yang harus dipatuhi. Aturan tersebut di antaranya tidak boleh menggunakan barang-barang elektronik, tidak boleh membawa senjata tajam, mencuci atau mandi tidak boleh menggunakan sabun, dan tidak boleh membawa minuman keras.
     Mata pencaharian utama orang Baduy adalah Bertani. Mereka menanam padi huma, palawija, dan membuat gula aren. Oleh karena itu, saat memasuki pinggiran perkampungan Baduy Dalam terlihat rumah-rumah panggung kecil yang disebut leuit (lumbung padi). Konon padi bisa bertahan puluhan tahun jika disimpan dalam leuit itu. Masyarakat Baduy Dalam memiliki prinsip, pantang menjual padi atau beras sekalipun ke tetangga. Sebagai gantinya mereka melakukan barter atau membelinya ke luar Desa Kanekes meskipun sekarang sudah ada pedagang keliling yang datang ke wilayah Baduy.
     Orang Baduy Dalam sering disebut Urang Tangtu, Urang Kajeroan, atau Urang Girang. Wilayahnya meliputi tiga kampung, yaitu Cibeo disebut Tangtu Parahiang, Cikeusik disebut Tangtu Pada Ageng, dan Cikertawarna disebut Tangtu Kadu Panjang. Tiap kampung Baduy Dalam dipimpin oleh seorang Puun, yaitu tokoh masyarakat yang tidak boleh pergi atau berkunjung ke luar Desa Kanekes.
     Menurut penuturan Ayah Mursid, seorang Jaro Tangtu yang mewakili Puun Janteu untuk menerima tamu atau pengunjung, ada beberapa upacara adat yang sering dilaksanakan, yaitu adat kelahiran yang dibantu paraji (dukun beranak). Setelah bayi berusia beberapa minggu, orang tua bayi memberi nama yang berdekatan dengan nama kedua orang tuanya. Kalau laki-laki diberi nama yang berdekatan dengan sang ibu. Misalnya, ibunya bernama Sarce, maka nama anaknya Sarmad. Seandainya yang lahir itu anak perempuan, nama sang anak akan berdekatan dengan nama ayah. Setelah bayi mencapai usia 40 hari digelar upacara adat yang disebut mulangkeun angir  yaitu memberikan persembahan kepada paraji berupa gula, beras, dan dua ekor ayam.
              Upacara lainnya adalah upacara kematian. Upacara ini melalui empat tahap, yaitu dimandikan, dikafani,diajikeun (didoakan) oleh keluarga dan kerabat, dipimpin oleh penghulu, dan terakhir dikuburkan dengan posisi kepala di sebelah barat menghadap ke selatan. Setelah itu, ada upacara selamatan selama tujuh hari di rumah yang ditinggalkan.
     Dalam mencari jodoh, remaja Baduy tidak boleh sembarangan, khususnya di Baduy Dalam, semuanya diatur oleh orang tuanya. Jika kedua orang tuanya sudah merasa cocok, mereka harus melaporkan kepada juru ramal untuk menentukan pelaksanaan pernikahan. Waktu antara kesepakatan dan pelaksanaan pernikahan biasanya lebih dari satu tahun. Selama kurun waktu tersebut kedua calon mempelai pengantin dididik cara berumah tangga yang baik.
     Dalam proses pernikahan, Puun bertindak sebagai penghulu yang juga mewakili wali mempelai wanita untuk menikahkan anaknya. Artinya, orang tua mempelai perempuan mewakilkan kepada Puun untuk menikahkan anaknya. Mahar atau mas kawinnya adalah uang tunai berupa uang logam dalam sebuah kantong sebesar Rp 2.500,00 dan sebuah cin-cin emas atau perak yang beratnya bervariasi.
     Peranan Puun sebagai bagian dari struktur adat dalam kehidupan sehari-hari amatlah penting, khususnya dalam pengambilan keputusan menyangkut kepentingan umum. Pucuk pimpinan dari struktur adat dipimpin oleh Puun Tri Tunggal, yaitu Puun Sadi di Kampung Cikeusik, Puun Janteu di Kampung Cibeo, dan Puun Kiteu di Cikertawarna.
     Puun dipilih berdasarkan garis keturunan atau ikatan darah, seperti di kerajaan. Wakil Puun disebut Jaro Tangtu yang bertugas sebagai juru bicara dengan pemerintahan desa, pemerintahan daerah atau pemerintahan pusat. Untuk kelancaran tugas, Puun dibantu oleh Baresan Salapan (sembilan orang) untuk Cibeo dan Baresan Tujuh untuk Cikertawarna, yang semuanya merupakan aparat desa. Untuk bidang keamanan, Puun dibantu oleh girang Seurat.
     Di Baduy Dalam, ada yang disebut dengan tangkesan, yakni orang yang memberikan surat keputusan pengangkatan dan pemberhentian kepada Puun atau pemimpin adat lainnya. Tangkesan dan Tanggungan dibantu oleh Jaro Pamerintah serta kokolot yang berada diwilayah Baduy Luar.
     Suku Baduy mengenal struktur pemerintahan desa yang dipimpin Kepala Desa Kanekes. Dalam istilah Baduy disebut Jaro Pamerintah dengan kewenangan sangat terbatas. Bedanya, Kepala Desa Kanekes tidak dipilh oleh masyrakat, tetapi diajukan oleh Jaro Tanggungan dan Baris Kolot yang diajukan kepada Puun Tri Tunggal. Selanjutnya, diadakan musyawarah untuk memutuskan orang yang pantas dijadikan kepala desa sesuai dengan kriteria Puun.
     Pandangan hidup orang Baduy secara filosofi cukup dalam, terutama dalam menjaga kelestarian alam sekitar. Ketika memberi sesuatu kepada orang Baduy baik berupa uang atau barang harus berlandaskan keridaan dangan selalu mengatakan “ sing rido nya “.

( Sumber : Pikiran Rakyat, 31 Desember 2005 )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar