Senin, 02 Desember 2013

SISI RELIGI SEPAK BOLA

Oleh: ANTON SANJOYO

     Banyak yang meragukan jika Diego Armando Maradona adalah santo, orang suci. Namun, di Napoli, legenda Argentina itu memang dianggap santo, dan orang Napoli tidak pernah peduli apakah orang Katolik lainnya setuju atau tidak. Di Napoli, hubungan antara Maradona dan penduduk kota begitu dekat, sedekat hubungan mereka dengan gereja. Ini karena Maradona bukan sekadar pemain bola atau sekadar bintang. Dialah yang mengangkat Napoli dari “penindasan” sepak bola, bahkan Maradona dianggap “nabi” pembebas dari penjajahan sosial.
     Sebelum Maradona datang ke Napoli tahun 1980-an, penduduk kota ini merasa menjadi kelas dua di Italia. Berada di bagian selatan Italia yang relatif lebih miskin ketimbang saudaranya di utara, Napoli menemukan jati diri ketika Maradona membawa mereka menjadi juara Liga serie A. Ini adalah “proklamasi kemerdekaan” Napoli dari penindasan sosial kota di utara yang lebih makmur terutama Milan dan Roma, dua kota yang dianggap pusat peradaban Italai dan dunia.
     Faktor Maradona pula yang membuat penduduk Napoli sempat dicibir sebagai bangsa Italia lainnya. Saat kesebelasan Argentina tampil di semufinal Piala Dunia 1990 melawan Gli Azzuri Italia di Stadion San Paolo, Napoli, seisi stadion justru memihak Argentina. Celakanya lagi, Argentina menang dan melaju ke final sebelum “dicurangi” Juergen Klinsmann dan kalah oleh gol penalti Andreas Brehme. Saat Maradona menangis seusai kekalahan melawan Jerman, media Italia menulis, “kesedihan dan air mata Maradona juga dirasakan warga Napoli yang tidak berhenti berdoa sepanjang  laga...”
     Meski kemudian Maradona jatuh dalam jurang narkoba dan beberapa kali dirawat akibat overdosis, kecintaan warga Napoli tidak pernah luntur. Ketika dia dipulangkan dari Piala Dunia 1994 Amerika Serikat akibat mengkonsumsi narkoba, beberapa gereja di Napoli menggelar misa khusus untuk keselamatan Maradona.
     Seperi halnya Maradona, Paus Fransiskus juga orang Argentina. Dia menjadi orang Amerika Latin pertama yang menjadi pemimpin tertinggi Gereja Katolik setelah Paus Benediktus XVI turun dari Takhta Suci Vatikan. Saat masih sebagai kardinal, Paus Fransiskus dikenal sebagai Jorge Mario Bergoglio. Punya darah Italia dan lahir di Buenos Aires, Papa Fransiskus adalah pendukung setia klub San Lorenzo de Almagro, tim yang berkompetisi di Divisi Primer Argentina.
     Saat dilantik menjadi Paus, pendukung San Lorenzo yang paling gembira. Mereka sempat menyanyikan lagu-lagu gereja menjelang pertandingan melawan Colon untuk merayakan duduknya Bergoglio di Takhta Suci Vatikan. Bukan hanya itu, sejak Paus Fransiskus menjadi gembala utama umat Katolik, foto Bergoglio terpampang di kostum San Lorenzo, tepat berada di dada, di samping lambang klub. Ditambah tulisan “Papa Francisco”, klub ini benar-benar merayakan kedekatan batinnya dengan Paus baru yang punya nomor 88235 dalam daftar fans club San Lorenzo.
     Pencantuman foto, meskipun seorang Paus, sebenarnya melanggar peraturan FIFA mengenai kostum. FIFA cukup ketat mengatur hal ini karena khawatir sepak bola dipolitisasi untuk kampanye tertentu, terutama politik. Peraturan ini masih sejenis dengan peraturan mengenai pemain yang tidak boleh membuka kostum saat merayakan gol karena dikhawatirkan mereka mengkampanyekan politik lewat tulisan atau gambar di baju dalamnya.
     Namun, kasus foto Papa Francisco memang unik, dan sejauh ini belum ada tanggapan apa pun dari FIFA. FIFA kemungkinan besar berhati-hati, menyikapi kasus ini karena pelanggaran San Lorenzo kemungkinan besar dianggap bukan pelanggaran serius, selain juga karena berhubungan dengan perayaan religi.
     Klub San Lorenzo sendiri sangat dekat hubungannya dengan Gereja Katolik. Nama klub itu bahkan diambil dari nama Lorenzo Massa, pastor yang menjadi pendiri klub. Pastor Lorenzo mendirikan klub ini karena prihatin melihat begitu banyak remaja yang main bola di jalanan tanpa ada pembimbing. Lorenzo lalu mengundang mereka ke halaman gereja yang luas untuk bermain bola dan membentuk sebuah perkumpulan yang sekarang bernama San Lorenzo de Almagro.
Di banyak negara di Eropa, Gereja juga menjadi cikal bakal sebuah klub. Di Inggris, kisahnya dimulai sekitar 130 tahun lalu. Klub Everton misalnya, didirikan oleh Gereja Methodis Santo Domingus pada 1878. Sementara klub Manchester City yang kini dipunyai juragan dari tanah Arab didirikan oleh Gereja Santo Markus.
     Namun, jika di Argentina klub seperti San Lorenzo ini hubungannya dengan Gereja masih sangat kuat, tidak begitu dengan Everton dan Manchester City. Relasi dengan gereja hanya tinggal sejarah, dan mereka kini tumbuh benar-benar sebagai klub profesional tanpa punya akar yang kuat kepada Gereja. Meski demikian, fenomena ini masih lebih baik ketimbang fenomena permusuhan antara klub Glasgow Celtic dan Glasgow Rangers yang bernuansa sektarian agama. Dua klub di ibu kota Skotlandia itu benar-benar dipisahkan keyakinan agama. Celtic didukung penganut Katolik, sedangkan Rangers disokong penganut Protestan. Sebuah basis dukungan yang benar-benar absurd untuk tolok ukur sepak bola modern.
     Di luar Glasgow, beruntung kita masih bisa menyaksikan hubungan yang begitu dalam antara religi dan sepak bola. Pada banyak kesempatan, kita melihat pemain Muslim tetap menjalankan ibadah puasa meski tetap harus bertanding bagi klubnya terutama di kompetisis Eropa. Pemain seperti Yaya Toure, Kolo Toure, dan Samir Nasri tetap berpuasa pada bulan suci Ramadhan.
     Pemain Sevilla, Freddie Kanoute, pernah menolak memakai kostum timnya yang disponsori sebuah rumah judi. “ Agama saya melarang judi. Saya tidak mau menanggung akibatnya di akhirat,” ujar Kanoute. 



Sumber: Harian Kompas, Kamis, 28 Maret 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar