Oleh: ANTON SANJOYO
Banyak yang meragukan jika Diego Armando Maradona adalah
santo, orang suci. Namun, di Napoli, legenda Argentina itu memang dianggap
santo, dan orang Napoli tidak pernah peduli apakah orang Katolik lainnya setuju
atau tidak. Di Napoli, hubungan antara Maradona dan penduduk kota begitu dekat,
sedekat hubungan mereka dengan gereja. Ini karena Maradona bukan sekadar pemain
bola atau sekadar bintang. Dialah yang mengangkat Napoli dari “penindasan”
sepak bola, bahkan Maradona dianggap “nabi” pembebas dari penjajahan sosial.
Sebelum Maradona datang ke Napoli tahun 1980-an, penduduk
kota ini merasa menjadi kelas dua di Italia. Berada di bagian selatan Italia
yang relatif lebih miskin ketimbang saudaranya di utara, Napoli menemukan jati
diri ketika Maradona membawa mereka menjadi juara Liga serie A. Ini adalah
“proklamasi kemerdekaan” Napoli dari penindasan sosial kota di utara yang lebih
makmur terutama Milan dan Roma, dua kota yang dianggap pusat peradaban Italai
dan dunia.
Faktor Maradona pula yang membuat penduduk Napoli sempat
dicibir sebagai bangsa Italia lainnya. Saat kesebelasan Argentina tampil di
semufinal Piala Dunia 1990 melawan Gli Azzuri Italia di Stadion San Paolo,
Napoli, seisi stadion justru memihak Argentina. Celakanya lagi, Argentina
menang dan melaju ke final sebelum “dicurangi” Juergen Klinsmann dan kalah oleh
gol penalti Andreas Brehme. Saat Maradona menangis seusai kekalahan melawan Jerman,
media Italia menulis, “kesedihan dan air mata Maradona juga dirasakan warga
Napoli yang tidak berhenti berdoa sepanjang laga...”
Meski kemudian Maradona jatuh dalam jurang narkoba dan
beberapa kali dirawat akibat overdosis, kecintaan warga Napoli tidak pernah
luntur. Ketika dia dipulangkan dari Piala Dunia 1994 Amerika Serikat akibat
mengkonsumsi narkoba, beberapa gereja di Napoli menggelar misa khusus untuk
keselamatan Maradona.
Seperi halnya Maradona, Paus Fransiskus juga orang
Argentina. Dia menjadi orang Amerika Latin pertama yang menjadi pemimpin
tertinggi Gereja Katolik setelah Paus Benediktus XVI turun dari Takhta Suci
Vatikan. Saat masih sebagai kardinal, Paus Fransiskus dikenal sebagai Jorge
Mario Bergoglio. Punya darah Italia dan lahir di Buenos Aires, Papa Fransiskus
adalah pendukung setia klub San Lorenzo de Almagro, tim yang berkompetisi di
Divisi Primer Argentina.
Saat dilantik menjadi Paus, pendukung San Lorenzo yang
paling gembira. Mereka sempat menyanyikan lagu-lagu gereja menjelang
pertandingan melawan Colon untuk merayakan duduknya Bergoglio di Takhta Suci
Vatikan. Bukan hanya itu, sejak Paus Fransiskus menjadi gembala utama umat
Katolik, foto Bergoglio terpampang di kostum San Lorenzo, tepat berada di dada,
di samping lambang klub. Ditambah tulisan “Papa Francisco”, klub ini
benar-benar merayakan kedekatan batinnya dengan Paus baru yang punya nomor
88235 dalam daftar fans club San Lorenzo.
Pencantuman foto, meskipun seorang Paus, sebenarnya
melanggar peraturan FIFA mengenai kostum. FIFA cukup ketat mengatur hal ini
karena khawatir sepak bola dipolitisasi untuk kampanye tertentu, terutama
politik. Peraturan ini masih sejenis dengan peraturan mengenai pemain yang
tidak boleh membuka kostum saat merayakan gol karena dikhawatirkan mereka
mengkampanyekan politik lewat tulisan atau gambar di baju dalamnya.
Namun, kasus foto Papa Francisco memang unik, dan sejauh ini
belum ada tanggapan apa pun dari FIFA. FIFA kemungkinan besar berhati-hati,
menyikapi kasus ini karena pelanggaran San Lorenzo kemungkinan besar dianggap
bukan pelanggaran serius, selain juga karena berhubungan dengan perayaan
religi.
Klub San Lorenzo sendiri sangat dekat hubungannya dengan
Gereja Katolik. Nama klub itu bahkan diambil dari nama Lorenzo Massa, pastor
yang menjadi pendiri klub. Pastor Lorenzo mendirikan klub ini karena prihatin
melihat begitu banyak remaja yang main bola di jalanan tanpa ada pembimbing.
Lorenzo lalu mengundang mereka ke halaman gereja yang luas untuk bermain bola
dan membentuk sebuah perkumpulan yang sekarang bernama San Lorenzo de Almagro.
Di banyak negara di Eropa, Gereja juga menjadi cikal bakal
sebuah klub. Di Inggris, kisahnya dimulai sekitar 130 tahun lalu. Klub Everton
misalnya, didirikan oleh Gereja Methodis Santo Domingus pada 1878. Sementara
klub Manchester City yang kini dipunyai juragan dari tanah Arab didirikan oleh
Gereja Santo Markus.
Namun, jika di Argentina klub seperti San Lorenzo ini
hubungannya dengan Gereja masih sangat kuat, tidak begitu dengan Everton dan
Manchester City. Relasi dengan gereja hanya tinggal sejarah, dan mereka kini
tumbuh benar-benar sebagai klub profesional tanpa punya akar yang kuat kepada
Gereja. Meski demikian, fenomena ini masih lebih baik ketimbang fenomena
permusuhan antara klub Glasgow Celtic dan Glasgow Rangers yang bernuansa
sektarian agama. Dua klub di ibu kota Skotlandia itu benar-benar dipisahkan
keyakinan agama. Celtic didukung penganut Katolik, sedangkan Rangers disokong
penganut Protestan. Sebuah basis dukungan yang benar-benar absurd untuk tolok
ukur sepak bola modern.
Di luar Glasgow, beruntung kita masih bisa menyaksikan
hubungan yang begitu dalam antara religi dan sepak bola. Pada banyak
kesempatan, kita melihat pemain Muslim tetap menjalankan ibadah puasa meski
tetap harus bertanding bagi klubnya terutama di kompetisis Eropa. Pemain
seperti Yaya Toure, Kolo Toure, dan Samir Nasri tetap berpuasa pada bulan suci
Ramadhan.
Pemain Sevilla, Freddie Kanoute, pernah menolak memakai
kostum timnya yang disponsori sebuah rumah judi. “ Agama saya melarang judi.
Saya tidak mau menanggung akibatnya di akhirat,” ujar Kanoute.
Sumber: Harian Kompas, Kamis, 28 Maret 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar